PERANTAU SUKSES YANG UNTUNG


Bila pada setiap manusia ditawarkan tiga hal yaitu celaka, rugi dan untung, maka bisa dipastikan semua memilih keberuntungan. Tak ada yang mau rugi, apalagi sampai celaka. Prinsip ekonomi bahkan mengajarkan kita untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya.

Peribahasa mengibaratkan pucuk dicinta ulam tiba, atas keberuntungan. Tuba binasa ikan tak dapat, untuk menggambarkan kerugian. Sudah jatuh, tertimpa tangga, nah ini jelas celaka! Memang enak lah bila mendapat keberuntungan. Bagi para pedagang, keberuntungan dikaitkan dengan pertambahan nilai barang. Misal, bila semula ia beli perak, hasil jual perak bisa untuk beli emas. Rugi, bila hasil jual perak hanya bisa untuk beli loyang. Celaka, bila di tengah jalan peraknya hilang, uang dirampok, badan dipukuli pula. Azab betul! Lagipula, bila ada orang yang memilih rugi atau celaka, rasanya ia perlu dibawa ke rumah sakit jiwa.
Sama halnya ketika seseorang memutuskan untuk merantau. Jauh meninggalkan keluarga demi memperjuangkan materi, ilmu, pengalaman, kisah cinta maupun sekedar pelarian dari masalah yang tengah didera. Merantau tetap menjadi pilihan terbaik, bersiap peluh bekerja keras untuk mempertanggungjawabkan keputusan itu. Maka saat itu saya yakinkan diri akan meraih sukses di negara baru, Korea Selatan, sehingga kelak saat kembali ke kampung halaman, saya bisa pulang dengan bangga seraya menggenggam asa merengkuh cita.

Meski Korea bukanlah tujuan merantau yang direncanakan jauh- jauh hari, namun saya percaya disana telah menunggu keberuntungan dan amal kebaikan. Besarnya materi meski terpampang nyata kalkulasinya, bukanlah tujuan utama. Lagipula di rumah sudah ada jalan untuk mendulang rupiah melalui beberapa usaha yang sudah ada, seperti lembaga Bahasa Korea atau pabrik  kerupuk yang sedang bergairah pertumbuhannya. Bagi saya ini adalah kesempatan, sulit didapat namun mudah hilang, apalagi banyak diperebutkan, jadi pantang untuk dibuang.

Motivasi terkuat untuk terbang ke Korea adalah memperjuangkan sesuatu menjadi lebih baik. Sekian lama menggeluti dunia lembaga Bahasa Korea, masalah paling pelik bukanlah membangun sumber daya manusianya semata. Mendidik para siswa agar berhasil lulus ujian Bahasa Korea sebagai syarat kunci melamar bekerja ke Korea sebagai TKI. Namun tantangan terberat yang harus dilewati adalah proses terbang menuju negeri kimchi . Beragam birokrasi harus dilewati, baik jalan panjang maupun pintas, melalui rentetan lobi panjang yang kadang tak peduli hati nurani. Mau tak mau harus bergelayut kepada tikus-tikus rakus lusuh sampai klimis berdasi. Ribuan calon pejuang harus bertahan mati-matian seraya merelakan apa saja yang dimiliki, demi melewati jalan mulus yang kunci gemboknya digenggam kuat oleh para tikus. Mencari celah jalan lain menghindari tikus artinya melepaskan satu antrian yang siap direbut banyak orang lapar namun brutal. Mengikuti jalan tikus maka bersiaplah memeras keringat hingga air mata darah. Jika ingin menghalau tikus manakala kita berada di sarangnya, ibarat mengejar di liang gelap tanpa pelita. 

Maka, demi memperjuangkan siswa yang sudah separuh langkah setengah basah, saya harus pergi ke Korea. Karena saya percaya, tikus akan tanpa daya jika pelita tempatnya bergantung telah kita genggam.
Rencana awalnya, ke Korea setahun saja. Sembari menyelami bekerja sebagai TKI, waktu yang ada digunakan untuk membuka hubungan ke KBRI di Korea, HRD Korea selaku penentu kebijakan untuk mendatangkan tenaga kerja ke Korea serta Nodongbu Korea yang menangani urusan ketenagakerjaan TKI di Korea. Tiga pelita itu cukuplah sebagai pegangan untuk membantu calon pejuang agar sampai ke tujuan dengan aman, melalui jalan yang lebih baik. Sebelum berangkat, saya tekankan dalam diri bahwa merantau bukan sekedar pergi liburan, karena keduanya jelas jauh berbeda. Kali ini saya tak akan singgah 3 hari, seminggu atau sebulan, tapi bertahun-tahun. Sayapun bukan hendak bersantai dan menikmati tempat wisata, tapi untuk belajar atau bekerja. Maka hal paling pertama yang saya lakukan adalah mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang Korea. Mencatat alamat dan nomor telepon tempat-tempat pentingnya, membeli peta, mengenali nama-nama tempat umum hingga lokasi-lokasi penting lainnya.

Akhirnya saya sampai di Korea. Namun, saya dihadapkan pada kondisi yang di luar dugaan. Ditempatkan di sebuah perusahan besar yang menempatkan saya sebagai orang Indonesia pertama kali dan seorang diri. Lokasi cukup terpencil serta jauh dari keramaian. Dalam radius 5 kilometer orang Indonesia hanya saya seorang diri, tanpa teman bicara atau berkeluh kesah. Melewati beberapa bulan sangat berat karena Bahasa Korea yang terbatas. Bentakan dan teriakan orang Korea yang rata-rata tidak sabaran menjadi makanan sehari-hari. Ternyata lulus ujian Bahasa Korea EPS TOPIK sebagai syarat utama menjad TKI di Korea, bukan jaminan untuk bisa mandiri dan kuat. Ternyata parameter kemampuan hanya setara dengan Bahasa anak SD di Korea. Dua bulan pertama terasa di neraka dan sangat tidak nyaman. Ditambah berbagai hal baru yang masih belum bisa saya terima perbedaannya dengan kehidupan di Indonesia. Hingga puncaknya, saya mengalami kecelakaan kerja dan harus dirawat di rumah sakit beberapa lama. Maka disana saya merenung, menyadarkan diri bahwa mau tidak mau, harus merubah kondisi dengan tangan sendiri. Harus berdamai dengan orang dan situasi yang ada. Suka tidak suka harus mengisi waktu dengan berbicara, meski terbata-bata. Saya sadar bahwa perjuangan agar menjadi lebih baik bukan hanya retorika, tapi harus dilakukan dengan langkah nyata. 

Maka semakin hari saya giat menggali informasi mengenal kultur nilai-nilai budaya yang masih sangat kental disamping kultur kerja yang keras. Beradaptasi dengan cuaca panas dingin empat musim serta perjuangan lainnya. Saya ingat saat pertama kali tiba di tempat baru, saya kaget lantaran semua makanan yang disediakan terasaasam dan hambar. Sementara di Indonesia hampir semua makanan pasti punya cita rasa. Maka meskipun berbeda, nafsu makan saya tak lantas hilang, mau tidak mau lidah harus menyesuaikan dengan rasa enak menurut indera perasa orang Korea. Saya sadar sebagai pendatang harus bersikap baik di tempat baru itu. Saya selalu berusaha ramah dengan orang-orang baru yang saya temui di tempat kerja. Murah berbagi senyum sehingga orang Korea menilai sebagai pribadi yang menyenangkan. Maka lambat laun saya cukup disukai banyak orang sehingga usaha untuk beradaptasi menjadi lebih mudah. 

Akhirnya saya mengambil kesimpulan, idealnya memang setiap hari manusia harus berusaha menjadi lebih baik. Misal, kemarin malas untuk belajar Bahasa Korea karena anggapan sulit dan rumit telah terhujam di kepala. Maka hari ini begitu bangun tidur setelah sholat Subuh langsung bergerak menghafalkan kosakata, lusa bahkan sebelum tidur rutin menghafalkan percakapan yang biasa diucapkan. Wah, revolusioner yah? Masalahnya, progressifitas dalam kebaikan pastilah dimulai dengan evaluasi rutin. Bagaimana mungkin bisa memotivasi diri untuk bergerak lebih baik, bila tidak ada catatan bahwa apa yang dilakukan sebelumnya butuh perbaikan? 

Konsep  perubahan menuju lebih baik adalah output ritme keseharian. Seseorang yang terbiasa merencanakan apa yang akan dia lakukan, lalu melaksanakannya, setelah itu dievaluasi, mana yang perlu diperbaiki mana yang ditinggalkan, lalu bergerak lagi dengan planning yang telah diperbaharui sehingga terlihatlah aktivitas yang mengalami kemajuan. Dievaluasi lagi, begitu seterusnya, itulah orang-orang yang lebih beruntung. Tapi, orang yang berprinsip “Ya sudahlah saya jalani apa adanya begini, mau nerima syukur mau kagak ya udah!” jelas bukan tipe orang yang punya keinginan untuk menjadi lebih baik. Ini dia orang yang rugi. Lantas bagaimana orang yang celaka? Sebagaimana digambarkan orang yang lebih bodoh dari keledai. Maksudnya, orang yang melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Istilahnya biarpun setiap hari mengalami konflik dan ketidaknyamanan di tempat kerja, saat pulang meratap dan menyesal. Namun setelah menyesal, tidak melakukan apa-apa sehingga terulang lagi, terulang lagi. 

Tapi, memang sungguh tidak mudah menjadi manusia beruntung. Butuh kedisiplinan, butuh keseriusan, butuh kesungguhan serta butuh pemikiran transedental yang kadang-kadang sulit diterima manusia kebanyakan.  Hal itu saya lakukan terus menerus, sehingga hampir setahun dihabiskan dengan bekerja dan belajar tanpa kenal lelah. Saya sadar bahwa harus hidup mandiri, apapun yang akan dilakukan harus baik-baik dipikirkan. Siapa yang akan merawat jika jatuh sakit? Siapa yang bisa dimintai bantuan jika kamu mendadak tertimpa masalah atau musibah? Merantau memang akan menempa saya menjadi pribadi yang lebih mawas diri, namun sebagai langkah antisipasi, saya harus memastikan tak benar-benar sendirian. Setidaknya ada salah satu keluarga atau teman yang bisa dihubungi dan dimintai bantuan dalam kondisi yang darurat dan terdesak. Maka setiap akhir pekan saya habiskan untuk berinteraksi dengan sesama pekerja Indonesia di Onyang Oncheon, kota kecil terdekat sekitar 20 km dari lokasi tempat tinggal. 

Semakin lama semakin banyak orang Indonesia yang saya kenal. Akhirnya saya semakin sering membantu permasalahan yang mereka alami di negara asing dengan keterbatasan komunikasi Bahasa Korea. Hampir semua masalah yang terjadi disebabkan oleh kesalah pahaman komunikasi dengan orang Korea maupun orang asing negara lain di tempat kerja. Bisa dibayangkan, 40 ribu pekerja Indonesia yang berada di Korea 92 persen tidak bisa berkomunikasi Bahasa Korea. Sungguh hal yang miris dan ironis manakala etos kerja dan kecekatan mereka sangat disukai oleh pengusaha Korea. Tidak terasa membantu mereka menjadi rutinitas setiap akhir pekan di kota Ansan, sebuah wilayah yang dihuni pekerja Indonesia paling banyak sehingga digelari Indonesian Town. Dari sinilah perjuangan yang lebih besar dimulai.

Tanah rantau itu ibarat lembar kosong yang bebas untuk diisi. Maka saya harus membuka diri seluas-luasnya demi menemukan kawan dan pengalaman baru. Indonesian Community Center adalah komunitas pekerja Indonesia yang terbesar di Korea Selatan, karena mengakomodir puluhan komunitas dan paguyuban kedaerahan yang terbentuk secara mandiri atas dasar sosial kemanusiaan sejak belasan tahun silam. Memutuskan untuk bergabung di dalamnya adalah spontanitas terbesar yang saya lakukan. Keputusan untuk menerima pencalonan sebagai ketua ICC hingga kemudian terpilih, menjadikan rencana setahun disini kemudian pulang menjadi bertambah 2 tahun lagi, artinya 3 tahun di Korea untuk mengejar untung itu, menebar amal baik. Bagi saya, hal ini adalah keputusan yang begitu besar. Di awal, saya merasakan berat, dan keraguan yang menghebat. Tapi kini, ini adalah jalan saya, salah satu skenario hidup yang Allah tuliskan untuk saya jiwai dan jalani. 

Akhir pekan setiap hari Minggu diisi dengan berkuliah di UT Korea. Berbekal semangat bahwa di tempat yang baru tidak menyurutkan langkah untuk mengembangkan diri. Ternyata, lingkungan dan tempat tinggal baru menawarkan berbagai kesempatan untuk maju. Maka sayapun layak memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Di sela banyak waktu luang, saya manfaatkan untuk berbagai kegiatan yang sekiranya meningkatkan kualitas seperti komunitas radio, grup tari daerah, pencak silat, penggalangan dana kemanusiaan serta banyak kegiatan lainnya.

Disini saya jadi menyadari tentang ilmu, bagaimanapun bentuknya meski berupa kemampuan berbahasa Korea, nyatanya menjadi jalan utama untuk meraih untung. Sebagaimana disampaikan para cendekiawan, ilmu selalu menjaga orang yang mempunyainya, sedangkan harta dijaga oleh orang yang mempunyainya. Atau ujaran orang yang berilmu banyak mempunyai teman, sedangkan orang yang berharta mempunyai banyak lawan. Pun juga nasehat ilmu apabila disimpan tidak akan habis, sedangkan harta bila disimpan akan usang dan lapuk. Rugi atau celaka orang yang telah menerima sedikit ilmu berbahasa Korea namun tidak menambah atau memanfaatkannya dengan baik. Berbekal ilmu, saya ingin menjalin banyak relasi dan hubungan, bukan hanya KBRI, HRD dan Nodongbu yang menjadi awal tujuan. Maka saya hijrah pindah kerja di Ansan.

Selama berkuliah akhir pekan, membantu kawan yang mengalami masalah serta kesusahan, menyambungkan keperluan pekerja Indonesia dengan berbagai instansi yang berkaitan, menjadikan saya kaya akan relasi dan hubungan. Bukan hanya dengan tokoh maupun instansi Indonesia, namun meluas ke instasi Korea maupun negara lain yang ada di Korea. Kejujuran yang menjadi pegangan, karena tidaklah kejujuran itu berkumpul kecuali bersama keberanian, berjiwa besar dan bertanggung jawab. Semakin kuat kepercayaan maka semakin kokohlah relasi. Saya percaya, di jaman milenia seperti sekarang ini, pemenang sekian banyak kompetisi bukanlah siapa yang memiliki harta, ilmu, kebanggan, warisan dan pasukan terbanyak. Tapi pemilik relasi atau link terbanyaklah yang akan menjadi juaranya.

Saya memegang prinsip ketika hidup di negara asing, harus menggenggam pepatah “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Memimpin organisasi menjadikan saya beriteraksi dengan banyak orang, maka kemampuan beradaptasi dan kemampuan membawa diri semakin terasah. Percaya atau tidak, kedua hal ini sangat menentukan kemampuan saya untuk bertahan dan sukses di perantauan. Berinteraksi dengan banyak orang selayaknya bisa baik-baik membawa diri,  tahu bagaimana harus bersikap dan menjaga perkataan. Tempat dan lingkungan baru memberi kesempatan bagi saya untuk tampil sebagai pribadi yang baru. Setiap bertemu dengan orang asing, saya merasa memulai kehidupan dari awal, sebisa mungkin menunjukkan kesan yang baik bagi mereka, apalagi yang baru mulai mengenal satu sama lain. Maka berbagai penghargaan diberikan oleh instansi Korea atas dedikasi membangun hubungan yang baik antara Indonesia dan Korea, bukanlah sebagai kebanggaan namun simpul ikatan bahwa kita telah menjunjung langit di bumi yang kita pijak.

Merantau sebagai upaya mengumpulkan materi ekonomi, maka saya berpikir harus hemat dan pintar-pintar menyisihkan uang. Dua hal ini adalah ilmu pasti jika ingin pulang sukses setelah merantau. Memastikan bahwa pengeluaran tak lebih besar dari gaji yang diperoleh, menjadi kunci mengelola keuangan. Tekad yang kuat bahwa selama di Korea menjadi pekerja namun setelah di Indonesia harus menjadi pengusaha. Meskipun di Indonesia sudah memiliki beberapa usaha, namun hasil dari Korea harus dirupakan sesuatu. 

Maka setelah tiga tahun terlewati, bekerjasama dengan adik yang juga bekerja di Korea, kami telah berhasil menambah satu usaha lagi yaitu pabrik kerupuk. Pengelolaan yang baik dilakukan dengan keluarga di rumah. Alhasil setelah 6 bulan beroperasi, pabrik ini telah memproduksi 1 ton setiap hari dengan karyawan tidak kurang dari 40 orang. Merantau memang identik dengan kesuksesan. Banyak orang yang akhirnya bisa punya kehidupan yang lebih baik setelah mantap memutuskan untuk merantau. Tapi, sukses tak mungkin bisa diraih tanpa kerja keras dan usaha. Sukses tak bisa begitu saja didapat tanpa perjuangan yang hebat. Mereka yang akhirnya bisa sukses diperantauan sudah demikian gigih bertahan. Tetap mantap menghadapi segala kesulitan selama tinggal diperantauan dan tak lantas menyerah lalu kembali pulang ke rumah.
Tujuan awal untuk membangun relasi telah tercapai, bahkan jauh melampaui rencana dan bayangan awal. 

Selain terjalin hubungan baik dengan instansi pemerintahan Indonesia di Korea, di Jakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia. Relasi dengan instansi Korea seperti yang berhubungan dengan Ketenagakerjaan Nodongbu, HRD, Samsung Hwajae, NPS dan yang terkait dengannya. Berhubungan dengan Hukum, bekerjasama dengan Kepolisian beberapa daerah, Center Bantuan Pekerja Asing serta Kantor Lembaga Bantuan Hukum untuk membantu masalah tenaga kerja terkait hukum dan Undang-undang. Berhubungan dengan Sosial Kemanusiaan, bekerjasama penanganan pekerja kecelakaan, meninggal dunia serta membantu penggalangan dana bencana kemanusiaan dengan event-event yang dilakukan bersama pemerintah daerah Korea. Berhubungan dengan Kementrian Usaha Menengah, mengadakan seminar workshop wirausaha dan mengenalkan investor Korea kepada para pekerja purna TKI yang sukses berwirausaha agar menjadi mitra investasi bersama. Berhubungan dengan Seniman Kebudayan, mengadakan banyak event kebudayaan antar negara yang mengenalkan masing-masing budaya serta harmonisasinya. 

Satu hal yang sangat penting, sebagai wujud pencapaian tujuan ke arah lebih baik, berakar dari membantu pengembangan kemampuan komunikasi Bahasa Korea sehari-sehari sebagai pegangan pendulang devisa yang mandiri dan kuat. Menjalin hubungan dengan instansi Pendidikan hingga  meyakinkan untuk membuat perusahaan pengajaran Bahasa Korea secara online yang bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Menjadi mediator pengusaha Joint Venture dua negara Korea dan Indonesia. Mengantarkan saya menjadi seorang karyawan pertama Indonesia di sebuah perusahaan multimedia antar negara dengan basis di Seoul, ibukota Korea Selatan.
Sebagai pendulang devisa, pekerja asing sekaligus perantau, kita akan beruntung bila sebelum berangkat kita miskin ekonomi dan bebal pikiran, namun setelah pulang berkecukupan menjadi pengusaha lagi berilmu sarjana dan pengalaman. Rugi, bila hasil yang didapat habis untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu sia-sia. Celaka, bila pulang tidak membawa apa-apa, sakit lagi depresi akibat banyak masalah mendera.

Maka sekarang tinggal kita memutuskan hasil akhir apa yang kita tuju selama menjadi perantau. Mau untung, rugi atau celaka. Semua memiliki jalannya masing- masing. Semua membawa konsekuensi dan tanggungjawab. Semua tergantung pilihan kita. Menjadi perantau hebat atau pepesan kosong belaka…..

Seoul, September 2017
Diko

https://www.facebook.com/notes/diko/perantau-sukses-yang-untung/10155118101983528/

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PERANTAU SUKSES YANG UNTUNG"

Posting Komentar